
Pemerintah Yunani ditekan untuk memberlakukan reformasi ekonomi oleh beberapa negara besar. Kepala negara dengan perekonomian raksasa berbondong menawarkan diri menjadi konsultan bagi tim moneter Athena. Mulai dari Barack Obama, Angela Merkel sampai Nicolas Sarkozy tampil pada garda terdepan pemulihan Yunani. Namun pemerintah koalisi harus mafhum benar bahwa negara yang dipimpin oleh tokoh-tokoh itu tidak memiliki rapor perekonomian lebih baik dibanding negara kebanyakan. Artinya, Athena seharusnya mencari 'cermin' lain untuk berkaca.
Jika mengacu pada pengalaman
default, negara Argentina lebih valid dijadikan panutan bagi
the PIIGS (Portugal, Irlandia, Italia, Yunani dan Spanyol). Sekitar 1 dasawarsa lalu, Argentina mencatat beban
hutang besar, gejala resesi serta kehancuran sektor perbankan. Tak ayal pemerintah mengumumkan
default (gagal bayar) senilai total $132 miliar. Angka tersebut adalah
default terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah ekonomi dunia. Mata uang
peso bahkan tergerus tajam terhadap dollar hingga nyaris tidak memiliki nilai tukar layak.
Sekarang, situasi berbanding terbalik dibanding saat resesi 1999-2002. Pertumbuhan ekonomi Argentina tercatat mencapai 9,2% pada 2010 berkat kinerja ekspor yang prima. Kunci utama dari keberhasilan negara ini adalah pematokan nilai tukar valuta domestik pada level rendah. Pemerintah bersikap mandiri, mengabaikan beban hutang dan melunasinya via penggenjotan ekspor. Suatu hal yang hanya bisa dilakukan dengan kurs valuta yang murah.
Cara tersebut memang tidak mudah dilakukan tanpa konsolidasi nasional, baik antara sektor bisnis maupun aparat negara. Namun kebijakan Argentina bisa tampak menarik bagi Athena, mengingat langkah pemangkasan satu tahun terakhir terbukti gagal. Menerima bailout dan melakukan pemangkasan ekstra selama bertahun-tahun tentu bukan opsi menyenangkan. Perdana Menteri George Papandreou mungkin mendapat ilham untuk meniru pemerintah Argentina pekan lalu. Dengan menyerukan referendum, Ia terkesan abai dengan komando yang diserukan oleh pejabat tinggi
eurozone. Intinya, Ia ingin Yunani lebih mandiri memberangus
krisis multi-sektoral dengan memakai satuan tukar sendiri.
Paul Blustein dari Brooking Institute, Amerika Serikat, memiliki pandangan khusus terkait kasus Yunani. "Seperti Argentina, Yunani bisa terbitkan mata uang baru," ujar Blustein. Sebagai kilas balik, Argentina sempat mematok kurs 1 peso sama dengan 1 dollar pada tahun 1991. Hal tersebut dilakukan guna mengendalikan inflasi dan stabilisasi kinerja perbankan. Patut dicatat bahwa inflasi tahunan Argentina pada tahun 1989 sempat mencapai 5000%! Suatu rekor yang membuat kursi presiden Raul Alfonsin terguncang hebat. Sayangnya, kebijakan kurs 1 berbanding 1 hanya efektif selama satu tahun. Angka inflasi memang tergerus sangat besar, dari 3.000% sebelum kebijakan, menjadi 3,4% di tahun 1994. Di samping itu, pelaku bisnis benar-benar menikmati laba dari lonjakan harga produk primer sehingga GDP tumbuh pada rerata 8% antara tahun 1991 dan 1995. Pintu perdagangan terbuka lebar sampai total impor meningkat dari US$ 11,6 miliar pada 1991 menjadi US$32,3 miliar pada tahun 2000. Demikian juga dengan sektor ekspor, yang juga melonjak dari US$ 12,1 miliar pada tahun 1991 menjadi US$ 30,7 miliar pada tahun 2000. Banyak lagi komponen bisnis negara yang diuntungkan oleh kebijakan valuta itu, sampai akhirnya situasi berbalik negatif.
Sepuluh tahun pasca kebijakan valuta, sistem keuangan Argentina bergejolak. Pematokan kurs 1 berbanding 1 membuat beban negara membengkak, semua karena sebagian besar hutang tercatat dalam denominasi dollar. Pada Desember 2001, pemerintah melarang penarikan tunai nasabah bank lebih dari 1000 peso (1000 dollar) per bulan. Kebijakan ini kemudian dikenal dengan sebutan 'Corralito'. Perekonomian yang memburuk, ditambah tingkat upah rendah memicu kerusuhan antara aparat keamanan dan golongan pekerja di ibukota. Sebanyak 27 orang menjadi korban kerusakan sistem ekonomi negara kala itu.
Pemerintah akhirnya mengakhiri kebijakan kurs peso terhadap dollar dan menyerahkan kinerja valuta domestik kepada pelaku pasar. Banyak orang Argentina kehilangan porsi simpanan akibat liberalisasi kurs ala pemerintah. Nilai tukar Peso akhirnya hanya setara dengan 2/3 mata uang dollar. GDP anjlok sampai 11% pada 2002 dan pengangguran sampai pada level 25%. Potret yang buruk buruk di tengah geliat ekonomi global.
Kembali ke Yunani, negara ini bisa mengalami guncangan serupa bila meninggalkan zona euro. Lebih buruk, Yunani mungkin harus menerbitkan mata uang baru dan menunggu sampai nilai tukarnya stabil. "Sulit untuk menjalani proses itu, karena Yunani tidak punya satuan tukar yang bisa diterima umum," ujar John Williamson, Mantan Penasihat Dana Moneter Internasional (IMF). Sementara pada masanya, Peso Argentina sudah diterima pasar bisnis dunia sebagai mata uang dengan legitimasi tinggi.
Argentina mengalami trauma akibat kebijakan untuk membiarkan kurs bergerak bebas. Namun kondisi sulit tidak berlangsung lama, karena GDP kembali naik sampai 9% pada 2003 dan bertahan beberapa tahun kemudian. Booming harga komoditi dan peningkatan ekspor sangat berperan dalam upaya perbaikan, yang tentu hanya bisa dicapai dengan penerapan kurs valuta rendah. Sedangkan untuk melunasi beban pinjaman besarnya, pemerintah membiarkan catatan hutang terbengkalai. Empat tahun kemudian, Argentina baru melakukan negosiasi pembayaran hutang secara parsial dengan tingkat kerugian yang harus diterima kreditur. Patut diketahui bahwa sampai saat ini proses hukum dari pengembalian hutang Argentina masih berjalan. Alasan tersebut membuat Argentina sepenuhnya terisolasi dari pasar kredit internasional. Hal itu tentu bukan masalah lagi bagi negara emerging baru ini, mengingat mereka sekarang punya pemasukan yang jelas dan konsisten untuk melunasi beban pembayaran apapun.
Berbalik ke Yunani, bank-bank dalam negeri adalah pemegang terbesar surat hutang pemerintah, sehingga kemungkinan besar runtuh jika Athena divonis default mutlak. Tetapi pemerintah sebenarnya bisa renegosiasi hutang dengan lebih leluasa ketimbang proses yang dilalui Argentina. "Demikian pula dengan penerbitan mata uang baru, jika mereka mau," urai Hans-Joachim Voth, Profesor di Universitas Pompeu Fabra, Barcelona. Sebagian besar obligasi Yunani dikeluarkan di bawah aturan hukum Yunani, sehingga aparat hukum bisa mengubahnya sesuka hati. "Sementara Argentina harus menerbitkan obligasi di New York dan London ketika itu," tambah Voth.
Tetapi tidak mudah bagi Yunani untuk meniru kinerja sektor ekspor Argentina, yang menjadi bagian terpenting dari pemulihan. Seperti diketahui bahwa Argentina adalah negeri dengan sumber daya alam melimpah, pertanian luas dan sektor manufaktur kuat. Adapun Yunani hanya bisa menawarkan sedikit potensi bagi konsumen asing di luar perkapalan dan pariwisata. Perubahan mata uang kemungkinan akan menjauhkan dana investasi dari industri-industri baru. Artinya, pemasukan negara akan jauh lebih kecil sehingga pelunasan hutang dan perbaikan kualitas sosial ekonomi bisa lebih lama. Tetapi seluruh dunia juga sudah tahu, tidak ada pilihan mudah bagi pemerintah koalisi saat ini. Pun jika pengalaman Argentina dinilai tidak relevan untuk Yunani, setidaknya negeri dewa dewi bisa belajar bagaimana ketegasan pemerintah dan kesabaran rakyat negara itu. Pengorbanan harus dilakukan, namun tergantung pemimpin negara bersangkutan, apakah mereka mau melakukannya secara mandiri atau di bawah pengaruh komunitas euro?
sumber:
wikipedia
CNNMoney
PIIE
the Economist