Senin, 15 April 2013

Dilema Ekonomi Tirai Bambu

Dilema Ekonomi Tirai BambuSelama 3 dasawarsa terakhir perekonomian China tumbuh dengan laju rata-rata sekitar 10% per tahun. Fenomena ini menjadikan negeri tirai bambu sebagai kekuatan ekonomi paling disegani di dunia. Kemajuan ekonomi turut berdampak positif terhadap tingkat kesejahteraan warga di sana dan jumlah warga golongan menengahnya melonjak drastis melampaui negara-negara lain.
Namun kondisi tersebut perlahan memudar dalam beberapa bulan terakhir. Laju pertumbuhan China di tiga bulan pertama 2013 bahkan lebih lambat dibanding perkiraan analis dan ekonom. Meski melampaui target pemerintah di 7,5%, Produk Domestik Bruto (GDP) China hanya tumbuh 7,7% di kuartal I.
Begitu banyak pekerjaan rumah yang dihadapi oleh pemerintah dalam satu tahun terakhir dalam upaya percepatan laju ekonomi. Jika pada tahun 2012, inflasi menjadi momok utama, maka untuk tahun ini potensi masalahnya adalah ekspansi besar-besaran di pasar kredit dan perumahan. Awal bulan April, lembaga pemeringkat Fitch memperingatkan China soal jumlah hutangnya yang dinilai terlampau besar. Volume kredit di China berekspansi terlampau cepat di tengah kembalinya indikasi krisis global, sebagian besar surat hutang diterbitkan oleh pemerintah daerah dan dipergunakan untuk mendanai proyek infrastruktur. Padahal di sisi lain neraca keuangan pemerintah-pemerintah daerah sangat timpang dan kerjasama dengan pebisnis lokal sangat lesu. Fitch berkeyakinan bahwa tingkat hutang akumulatif akan melambung tinggi, sehingga pada titik tertentu pemerintah pusat terpaksa harus menanggung akibatnya.
Iklim pasar hunian China juga meresahkan pemerintah sehingga pihak Beijing harus mengambil langkah antisipatif berupa pengetatan moneter. Pemerintah pusat pada bulan Februari lalu melontarkan kekhawatirannya soal masa depan pasar propoerti dan langsung menginstruksikan pemda untuk mendinginkan harga. Bertambahnya jumlah warga golongan menengah telah membuat minat investasi hunian naik pesat dalam beberapa waktu terakhir sehingga besaran harga menjadi tidak rasional lagi.
Kepemimpinan baru China, yang baru dilantik bulan November tahun lalu, bertekad menyeimbangkan kembali segala komponen ekonomi nasional. Strategi utamanya adalah dengan menggenjot daya konsumsi dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada investasi berbasis infrastruktur, manufaktur dan real estat. Pemulihan ekonomi secara bertahap jauh lebih baik bagi Presiden Xi Jinping dan Perdana Menteri Li Keqiang untuk mengejar reformasi ekonomi. Sebagian besar pengamat melihat adanya kemungkinan penurunan pertumbuhan atau stagnasi ekonomi di semester II tahun ini, dengan mengacu pada kemungkinan lonjakan harga properti dan inflasi. Dua komponen moneter ini dapat memaksa bank sentral untuk kembali mengencangkan sabuk moneternya dalam hitungan bulan.
Perlambatan ekonomi di negara perekonomian terbesar ke-dua dunia turut berpengaruh terhadap kineja harga saham domestik. Jika indeks-indeks saham utama global tengah menapaki momentum kejayaan, bursa saham China justru ketinggalan kereta. Shanghai Composite hanya mampu mendulang kenaikan 2,5% sepanjang tahun ini meskipun sempat naik signifikan di dua bulan pertama 2013. Sementara indeks Hang Seng telah merugi sebanyak 1,4% dalam periode yang sama. Jika ditilik lebih lanjut, rasio penguatan indeks China memang tidak terlalu buruk, Namun jika dibandingkan dengan dua indeks penting dunia, yakni Dow Jones dan Nikkei, performanya jelas jauh di bawah kategori ideal. Indeks Dow Jones sudah menguat sebanyak 11% sejak bulan Januari dan Nikkei meroket sampai 21% di tengah trend pelemahan nilai tukar Yen. Indeks-indeks ekuitas di Eropa bahkan masih mencatat kinerja yang lebih baik ketimbang China, meskipun konsisten diterjang kabar negatif dari Siprus, Italia maupun Portugal. Sejalan dengan kebijakan anti-bubble pemerintah, saham-saham properti dan keuangan menjadi sasaran aksi jual investor dalam beberapa bulan terakhir. Sebagian besar investor mulai meninggalkan pasar saham dan beralih ke aset investasi lain yang lebih menjanjikan. Beberapa opsi favorit adalah penanaman modal di aset properti fisik, instrumen dana nasabah dan produk campuran yang terkadang lebih mampu menghasilkan return lebih baik.
Jika diamati ke belakang, perubahan kinerja ekonomi China merupakan konsekuensi dari laju ekonomi yang terlalu cepat di masa lalu. Kini pihak Beijing harus berkoordinasi menentukan langkah antisipatif untuk menekan risiko bubble sektoral tanpa memperlambat laju ekonomi nasional. Pengetatan moneter baru masih mungkin muncul sepanjang 2013, khususnya di sektor kredit, perbankan dan perumahan. Kecil kemungkinan bagi pasar saham untuk menuai kenaikan marjinal, serupa dengan raihan gain indeks-indeks utama dunia.

ECB Draghi: Penjualan Emas Sepenuhnya Keputusan Bank Sentral Cyprus

ECB Draghi: Penjualan Emas Sepenuhnya Keputusan Bank Sentral CyprusRumor yang sempat beredar diantara para pelaku pasar bahwa ECB akan memangkas suku bunga acuannya di waktu mendatang ditepis oleh Presiden ECB, Mario Draghi yang menyatakan bahwa kebijakan moneter tidak akan mengatasi akar permasalah krisis di Eropa.
Selain itu Draghi mengakui bahwa problem zona Euro masih belum sepenuhnya hilang meski tampak perbaikan, oleh sebab itu kebijakan ECB masih akan dilanjutkan dalam mandatnya.
Sebelumnya Mario Draghi sempat berkomentar bahwa uang yang didapatkan dari potensial penjualan cadangan Emas Cyprus seharusnya dapat digunakan untuk menutupi kerugian bank sentral dalam menyediakan likuiditas darurat untuk sektor perbankan Cyprus yang bermasalah. Sehingga keputusan penjualan Emas tersebut sepenuhnya tergantung oleh bank sentral Cyprus.
Gubernur bank sentral Cyprus, menambahkan dalam pernyataannya di depan pers bahwa beliau akan bekerjasama dengan pemerintah untuk mengatasi krisis ekonomi Cyprus. 
Bagaimanapun komentar Draghi tersebut menyulut spekulasi para investor bahwa negara member Eropa lainnya yang bermasalah dengan hutang seperti Italia, Portugal, Yunani, Spanyol dapat saja mengikuti solusi instan untuk pemenuhan pendanaan sektor perbankan yang bermasalah di negara masing-masing dengan menjual cadangan Emas. Bila skenario ini terjadi bukan tidak mungkin harga Emas menjadi nol, bahkan negatif.

Panic Selling Emas Berlanjut Paska Kenaikan Margin Trading SGE

Panic Selling Emas Berlanjut Paska Kenaikan Margin Trading SGE Kekacauan Emas  berlanjut lagi di hari Senin seiring aksi panic selling di sesi Asia maupun Eropa merespon data pertumbuhan GDP yang mengecewakan di triwulan pertama. Menambah sentimen negatif ini, Shanghai Gold Exchange (SGE) mengumumkan bahwa mungkin akan ada kenaikan margin trading untuk kontrak Emas dan Perak sebanyak 12 persen.
Secara teknikal, Emas telah memasuki fase bearish sejak hari Jumat kemarin, dengan penembusan dibawah level $1500 untuk kali pertama dalam dua tahun terakhir ditengah kecemasan pelambatan stimulus AS lebih dini dibanding estimasi sebelumnya ditambah rumor penjualan cadangan Emas Cyprus sebagai bagian dari kesepakatan bailout.
Selain itu rekomendasi posisi short selling Emas oleh Goldman Sachs di pekan sebelumnya juga turut merusak sentimen market terhadap Emas.
Terpantau sejauh ini harga spot Emas melemah -5.01% di level $1,408.00, setelah meraih titik tertinggi intraday di $1,498.46 dan level terendah hariannya di $1,386.05 per troy ons. Secara teknikal bias intraday masih bearish namun dibutuhkan penembusan dibawah area 1385 untuk melanjutkan tekanan bearish mengincar area 1361 & 1346. Di sisi atasnya, resisten terdekat tampak di area 1427, tembus lagi diatas area tersebut seharusnya dapat memicu koreksi keatas menguji area resisten kunci 1435 – 1447.