Hal itu tentu akan menyebabkan pasar saham kolaps tiba-tiba. Namun jika pasar nantinya bereaksi keras, maka hal itu akan memberi tekanan baru bagi kongres. "Kongres butuh tekanan supaya mau meneken persetujuan, misalnya dari reaksi keras pelaku pasar," ujar Ed Mills dari FBR Capital. Namun Mills melihat kemungkinan persetujuan tidak tercapai hingga deadline 2 Agustus hanya sebesar 25%. "Tampaknya kedua pihak benar-benar sulit mengalah sampai situasi berubah menjadi krisis," ujarnya.
Kongres dan Gedung Putih menetapkan tanggal 22 Juli sebagai batas akhir negosiasi. Sementara Menteri Keuangan, Tim Geithner, mengatakan pemerintah punya toleransi hingga 2 Agustus. Jika kongres enggan melunak setelah deadline, maka pasar saham akan bergejolak. Investor luar memandang Washington tidak bisa kompak menyelesaikan kepentingan nasional.
"Pada akhirnya, kongres akan menyepakati wacana pemerintah," pungkas Alec Levine, Associate Director Newedge Group. Levine melihat situasi sekarang identik dengan saat pemerintah memperjuangkan Troubled Asset Relief Program (TARP) beberapa tahun silam. "Saat itu perundingan pertama gagal, pasar bereaksi keras hingga perundingan dua berjalan mulus," ungkap Levine. Akhirnya, program senilai $700 miliar bisa direstui House untuk mengatasi krisis tahun 2008 lalu. Situasinya kurang lebih serupa, respon kritis dari pelaku pasar keuangan dibutuhkan supaya kongres tidak terlalu keras kepala.