Kalangan ekonomi terus mengamati perkembangan inflasi di berbagai negara. Ancaman ini ditakutkan bisa mengikis daya beli konsumen yang baru saja menikmati pemulihan ekonomi. Akan tetapi, fakta berbeda justru terjadi di lapangan, setidaknya di Amerika Serikat (AS). Tekanan harga dipandang belum menghantui kemampuan konsumsi.
Meski demikian, bukan berarti inflasi tak lagi jadi sebuah ancaman. Pejabat Federal Reserve berupaya menjamin kenaikan harga tidak akan mengganggu daya beli warga. Seperti dilansir CNBC, sebanyak 3 dari 4 responden yang disurvei meyakini harga barang dan jasa akan melonjak dalam jangka panjang. Sungguh menjadi sebuah kabar buruk bagi pemulihan AS.
Deloitte Consulting, lembaga multi-finance global, melakukan survei terhadap 1.050 konsumen ihwal dampak inflasi. "Kita harus melihat ke mata mereka untuk tahu seberapa besar efek inflasi ke dalam kehidupan mereka," ujar Mary Delk, Direktur Deloitte. Beberapa kesimpulan yang bisa didapat dari survei terseut adalah:
- Sebanyak 3/4 warga yakin bahwa kenaikan harga akan menekan daya beli mereka dalam beberapa bulan mendatang. 82% responden di atas 45 tahun merasa terancam oleh inflasi.
- Sebanyak 43% responden menilai resesi belum usai.
- Sebanyak 27% melihat toko-toko berani menawarkan harga lebih menarik dibandingkan tahun lalu.
- Hanya 24% warga yang memiliki pendapatan kurang dari $100 ribu per tahun, mengaku lebih optimis dengan pertumbuhan ekonomi dalam 6 bulan terakhir.
Singkat kata, Deloitte menyimpulkan bahwa daya beli konsumen AS saat ini masih kokoh. Akan tetapi, terlihat jelas ketakutan bahwa inflasi akan mengikis pengeluaran mereka dalam beberapa bulan mendatang. Dan, kenaikan harga pangan dan energi bisa menjadi dalang utama dari pengrusakan kemampuan beli.
Dua lembaga keuangan ternama AS, JPMorgan-Chase dan Bank of America Merrill Lynch, memangkas proyeksi ekonomi AS akibat tekanan harga. Walaupun begitu, keduanya melihat perkembangan ekonomi masih kondusif. "Pengeluaran konsumen akan melemah dalam beberapa bulan, bahkan kuartal ke depan," urai David Rosenberg, Ekonom Gluskin Sheff.