Pertumbuhan China dan India memang
menyentuh titik terendah pada periode April hingga Juni di level 7,8%
dan 5,3%. Namun laju ekonomi kedua negara diyakini akan lebih cepat pada
kuartal III nanti menjadi 8,5% dan 6%. "Untuk China, kebijakan yang
lebih longgar akan menaikkan permintaan dalam negeri walaupun ekspor ke
wilayah barat masih lesu," Frederic Neumann, Kepala Riset Ekonomi Asia
HSBC pada laporan kuartalan hari ini.
HSBC memprediksi China memangkas
persyaratan Giro Wajib Minimum sebanyak 200 basis poin dan menurunkan
suku bunga 25 basis poin lagi. Terbuka peluang bagi pemerintah untuk
menurunkan juga pungutan pajak dan investasi langsung pada sektor
perumahan serta infrastruktur. "Kombinasi antara kebijakan fiskal dan
moneter akan menggenjot permintaan, kepercayaan usaha dan nilai tambah
lainnya," ulas HSBC. Oleh karena itu, Neumann yakin Asia tidak akan
kolaps secara ekonomi karena peran China yang lebih signifikan di
semester II.
Jika proyeksi HSBC terbukti maka kinerja
ekonomi China nantinya akan identik dengan apa yang dialami oleh Korea
Selatan. Negeri ginseng mengekspor lebih banyak produk ke wilayahnya
sendiri ketimbang ke Amerika dan Eropa sejak krisis hutang melanda.
Adapun faktor lain yang makin membuka jalan bagi perbaikan roda bisnis
adalah penurunan harga minyak dunia. Hal ini sejatinya akan memperkuat
daya beli konsumen dan mengurangi beban produksi. Harga minyak yang
lebih rendah juga memberi kesempatan bagi India dan Indonesia untuk
memangkas subsidi dan mendukung pertumbuhan via stimulus baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar