Selain korelasi yang tampak pada peristiwa tersebut, berikut ini adalah alasan fundamental mengapa dollar condong bereaksi negative terhadap harga minyak. Faktornya adalah:
1. Tingginya Intensifitas Energi AS: ekonomi AS lebih intensif terhadap energi dibanding kebanyakan ekonomi negara berkembang lainnya, terbukti dari data import minyak dimana AS merupakan importir minyak yang lebih besar dibanding zona eropa. Maka tidak mengherankan jika ekonomi AS pun lebih terkena imbasnya ketika harga minyak semakin meroket.
2. Arus petrodollar : ketika harga minyak naik, negara negara pengekspor minyak menghasilkan lebih banyak pendapatan. Jika proporsi yang signfikan terjadi ke alokasi mata uang non-dollar, imbas net nya terjadi penjualan USD. Pada tahun 2008, ketika harga minyak naik diatas $100 untuk kali pertama, dapat kita perhatikan korelasi yang kuat antara EUR/USD dengan harga minyak. Korelasi ini konsisten dengan peningkatan andil Eropa dalam negara-negara pengekspor cadangan minyak, seperti Rusia dan Timur Tengah.
3. Ketidaksimetrisan target inflasi: Guncangan harga minyak akan mempengaruhi kebijakan moneter secara berbeda di berbagai negara. The Fed sendiri cenderung terfokus pada core inflation (Greenspan biasanya fokus ke data PCE deflator inti). Ini berarti bahwa semakin tinggi harga minyak tidak berpengaruh langsung ke kebijakan moneter. Namun sangat kontras halnya dengan BI rate yang terfokus pada headline inflation, berdasarkan pengamatan tekanan naik pada data headline inflation diakibatkan oleh tingginya harga energi global (seperti di pertengahan 2008) akan berpotensi memicu kenaikan suku bunga. Ketidaksimetrisan target inflasi ini menyebabkan pelemahan USD di tengah guncangan harga minyak, setidaknya dalam kaitannya terhadap Rupiah.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar