Selasa, 01 Maret 2011

Oil Up dampak untuk rupiah dengan dollar

Berdasarkan data historis jika harga minyak meroket, maka mata uang dollar tertekan sehingga menguatkan Rupiah. Sejak tahun 2004 telah tampak korelasi negative antara harga minyak dengan dollar. Contohnya di semester pertama 2008, ketika minyak mentah dunia & pasangan mata uang EUR/USD meraih titik tertingginya. Begitu juga dengan pergerakan Rupiah yang sempat menguat ke level 9050 dari titik terlemah 9450 terhadap US Dollar. Contoh lainnya, seperti akhir-akhir ini ketika tensi ketegangan Timur Tengah semakin merajalela, kembali terindikasi dollar cenderung melemah ketika ada kejutan supply minyak. Seperti yang sejarah perang Irak di tahun 1991 maupun perang Irak kedua di tahun 2003.

Selain korelasi yang tampak pada peristiwa tersebut, berikut ini adalah alasan fundamental mengapa dollar condong bereaksi negative terhadap harga minyak. Faktornya adalah:
 
1.     Tingginya Intensifitas Energi AS: ekonomi AS lebih intensif terhadap energi dibanding kebanyakan ekonomi negara berkembang lainnya, terbukti dari data import minyak dimana AS merupakan importir minyak yang lebih besar dibanding zona eropa. Maka tidak mengherankan jika ekonomi AS pun lebih terkena imbasnya ketika harga minyak semakin meroket.
 
2.     Arus petrodollar : ketika harga minyak naik, negara negara pengekspor minyak menghasilkan lebih banyak pendapatan. Jika proporsi yang signfikan terjadi ke alokasi mata uang non-dollar, imbas net nya terjadi penjualan USD. Pada tahun 2008, ketika harga minyak naik diatas $100 untuk kali pertama, dapat kita perhatikan korelasi yang kuat antara EUR/USD dengan harga minyak. Korelasi ini konsisten dengan peningkatan andil Eropa dalam negara-negara pengekspor cadangan minyak, seperti Rusia dan Timur Tengah.
 
3.     Ketidaksimetrisan target inflasi: Guncangan harga minyak akan mempengaruhi kebijakan moneter secara berbeda di berbagai negara. The Fed sendiri cenderung terfokus pada core inflation (Greenspan biasanya fokus ke data PCE deflator inti). Ini berarti bahwa semakin tinggi harga minyak tidak berpengaruh langsung ke kebijakan moneter. Namun sangat kontras halnya dengan BI rate yang terfokus pada headline inflation, berdasarkan pengamatan tekanan naik pada data headline inflation diakibatkan oleh tingginya harga energi global (seperti di pertengahan 2008) akan berpotensi memicu kenaikan suku bunga. Ketidaksimetrisan target inflasi ini menyebabkan pelemahan USD di tengah guncangan harga minyak, setidaknya dalam kaitannya terhadap Rupiah.

Tidak ada komentar: