Permintaan Emas di Asia & Bank Sentral semakin tinggi menjelang hasil KTT Uni Eropa di Brussels yang dikkhawatirkan belum mampu memecahkan krisis utang zona Eropa ataupun mencegah penyebaran ke system keuangan Eropa.
Negara berkembang seperti China dan India terpantau masih aktif melakukan pembelian logam mulia akibat kekhawatiran pertumbuhan global tersebut, dan demi melindungi nilai dari tingginya inflasi dan depresiasi mata uang kertas.
Permintaan Emas dari China diekspektasikan naik sekitar 20% ke level 700 ton tahun ini ini dari sebelumnya 570 ton di tahun 2010. Laporan resmi juga menunjukkan laju inflasi pada 6.4% sementara inflasi riil diperkirakan masih mengalami kenaikan. Imbasnya kenaikan permintaan Emas dari Asia masih berkepanjangan, terutama di China dikarenakan kepemilikan Emas diblokir dari tahun 1950 hingga 2003, sehingga pada dasarnya permintaan emas masih naik dari 0.
Selain permintaan dari kelas menengah, Bank Sentral turut menambah diversifikasi ke Emas. Di satu sisi, supply emas global termasuk produksi dari hasil tambah masih mentok di level 4,108.2 ton, atau setara dengan nilai $210 milyar berdasarkan running harga Emas terakhir.
Tentunya supply Emas ini tidak memadai untuk permintaan cadangan devisa yang berkembang cepat di China. Menurut ekonom Credit Suisse, Dong Tao hanya kenaikan surat utang berharga dari Treasury AS yang dapat memadai permintaan cadangan devisa China senilai $3.2 trilyun pada akhir bulan Juni lalu.
Meskipun China hanya menempati peringkat 6 dari kepemilikan terbesar Emas di dunia, namun jumlah kepemilikan Emas China yang terakhir sebesar 1,054.1 ton hanya sekitar 1.6% dari total cadangan devisa China.
Kesimpulannya rekor harga spot Emas akhir-akhir ini menandakan bahwa kenaikan nilai Emas masih ditopang oleh arus hot money yang bersifat spekulatif dan sewaktu-waktu dapat berbalik arah, namun permintaan Bank Sentral dan Asia yang cenderung lebih pasif atau melakukan buy dan menahan Emas dalam jangka panjang masih berpotensi menopang kenaikan harga Emas lebih lanjut.