
Situasi pasar keuangan makin buruk setelah
Italia terancam gagal bayar instrumen
hutangnya. Sentimen bahkan jauh lebih buruk dibandingkan ketika Yunani mengalami deadlock politik dalam wacana bailout Uni Eropa. Apa yang membedakan Italia dan Yunani? Bukankah kedua negara memiliki status sama, penghutang besar?
Bunga obligasi Italia bertenor 10 tahun melambung ke atas 7% pekan ini. Imbal hasil sebesar itu menunjukkan bahwa tingkat risiko gagal bayar kian tinggi. Semakin besar yield obligasi sebuah negara, maka makin besar pula level risiko kerugian yang harus diterima investornya. Pergerakan harga emas dan saham memang lazimnya berlawanan arah, namun korelasi tersebut tidak berlaku pekan ini. Nyaris seluruh bursa utama Asia dan Eropa terpuruk di zona merah pekan ini. Adapun emas tersasar sampai ke harga $1735 pada hari Kamis. Minat berisiko diharapkan sedikit membaik jelang weekend, mengingat semalam (10/11) Wall Street mendapat suntikan positif dari laporan earnings. Dow Jones industrial average menguat 112,85 poin atau nyaris 1% ke level 11.893. Indeks Standard & Poor's 500 juga naik 10,60 poin (0,86%) ke level 1.239,70 dan Nasdaq meraup 3,50 poin (0,13%) ke level 2.625,15.
Menurut informasi yang disebarluaskan, total hutang pemerintah Italia mencapai 1,92 triliun
euro atau setara 23% dari seluruh nilai hutang pemerintah negara dalam zona euro. Bandingkan dengan Yunani yang hanya mengoleksi beban hutang 340 miliar euro. Sementara rasio hutang terhadap GDP (
debt-to-GDP) Italia adalah 119,1%, lebih baik dibanding Yunani dan Islandia yang mencatat rasio 142,8% dan 126,1%. Namun kembali lagi ke angka riil, jumlah nominal Italia tentu jauh lebih besar ketimbang dua negara itu. Mengingat posisinya sebagai negara perekonomian terbesar ke-tiga di Eropa.
Jika mengacu pada indikator ekonomi, tingkat pertumbuhan Italia memang memprihatinkan. Level inflasi terpantau naik 3,6% hingga awal kuartal IV ini. Rerata pengangguran bahkan masuk dalam kategori tinggi, 8,3%, dan PMI jatuh ke 43,1%. Pertumbuhan GDP kuartal II silam hanya mampu mencapai 0,8 poin persentase (year-on-year). Fakta-fakta tersebut cukup untuk menunjukkan betapa buruk kinerja pemerintah Silvio Berlusconi.
Italia terlalu besar untuk dibantu (bailout), namun terlalu besar pula untuk dibiarkan bangkrut. Jika Yunani saja sudah membuat guncangan besar di pasar finansial global, apa jadinya bila negeri pizza dibiarkan terjerat dalam krisisnya. Rasio hutang negara itu sudah terlampau besar dan sulit untuk dibayar. Bahkan jika nantinya ada kesepakatan pemangkasan kerugian yang disepakati investor, misalnya sebanyak 50%, jumlah nyaris 1 triliun bukanlah nominal kecil. Pemegang obligasi korporasi, yang kebanyakan perbankan dan asuransi, bisa gulung tikar serentak. Entah efek negatif apa lagi yang bisa diberikan oleh kehancuran ekonomi Italia. Satu hal yang pasti, otoritas Eropa kini mempunyai pekerjaan rumah yang lebih rumit.